Aku ingin berbagi cerita, kisahku ini adalah kejadian yang
benar-benar kualami sendiri. Untuk menjaga nama baik keluarga, nama dan marga
sengaja kusamarkan. Aku berharap semoga beban batinku akan berkurang setelah
aku menceritakannya kepada Cerita Sex Thn 2016.
Aku adalah seorang gadis dari K, sebut saja namaku Inge, aku
anak pertama dari 6 bersaudara dan aku satu-satunya anak perempuan. Kehidupan
ekonomi keluargaku bisa dibilang mencemaskan. Beruntung aku bisa tamat SMA, ini
karena aku mendapat beasiswa.
Aku sedih melihat keadaan keluargaku, ayahku adalah seorang
Pegawai Negeri, ibuku hanyalah seorang Ibu Rumah Tangga yang tidak mempunyai
skill, kerjanya hanya mengurus putra-putrinya. Rasanya aku ingin membantu ayah,
mencari uang.
Tapi apalah daya aku hanya lulusan sekolah menengah, namun
begitu kucoba untuk melamar kerja di perusahaan yang ada di kota Manado.
Hasilnya nihil, tak satupun perusahaan yang menerima lamaranku. Aku mahfum,
disaat krisis sekarang ini banyak PT yang jatuh bangkrut, kalaupun ada PT yang
bertahan itu karena mem-PHK sebagian karyawannya.
Lalu aku berpikir, kenapa aku tidak ke Jakarta saja, kata
orang di Ibukota banyak lowongan pekerjaan, dan aku teringat tetanggaku Mona
namanya, dia itu katanya sukses hidup di Jakarta, terbukti kehidupan
keluarganya meningkat drastis. Dahulu kehidupan keluarga Mona tidak jauh
berbeda dengan keadaan keluargaku, pas-pasan.
Tapi sejak Mona merantau ke Jakarta, ekonomi keluarganya
makin lama makin berubah. Bangunan rumah Mona kini sudah permanen, isi
perabotnya serba baru, dari kursi tamu, tempat tidur semuanya mewah, juga TV
29″ antena parabola dan VCD mereka miliki. Aku ingin seperti Mona, toh dia juga
hanya tamatan SMA. Kalau dia bisa kenapa aku tidak? Aku harus optimis.
Pada suatu hari di bulan September, aku pamit kepada
keluargaku untuk merantau ke Jakarta. Meskipun berat papa dan mama merelakan
kepergianku. Dengan bekal uang Rp 75.000 dan tiket kelas Ekonomi hasil hutang
papaku di kantor, aku akhirnya meninggalkan desa tercinta di Kawanua.
Dari desa aku menuju pelabuhan, aku harus sudah sampai di
pelabuhan sebelum pukul 6 sore karena KM Ciremai jurusan Tg.Priok berangkat jam
19:00 WIT, waktu satu jam tentu cukup untuk mencari tempat yang nyaman.
Karena tiketku tidak mencantumkan nomor seat, maklum kelas
ekonomi, aku berharap mendapat lapak untuk menggelar tikar ukuran badanku. Tapi
sial, angkutan yang menuju pelabuhan begitu terlambat, pada waktu itu jam sudah
menunjuk pukul 18:45. Waktuku hanya 15 menit. Ternyata KM.
Ciremai sudah berlabuh, aku melihat hiruk pikuk penumpang
berebut menaiki tangga, aku tergolong calon penumpang yang terakhir, dengan
sisa-sisa tenagaku, aku berusaha lari menuju KM.Ciremai, aku hanya menggendong
tas punggung yang berisi pakaian 3 potong. Aku sudah berada di dek kapal kelas
ekonomi, tapi hampir semua ruangan sudah penuh oleh para penumpang. Keringat
membasahi seluruh tubuhku, ruangan begitu terasa pengap oleh nafas-nafas
manusia yang bejibun.
Aku hanya bisa berdiri di depan sebuah kamar yang
bertuliskan Crew, di sekitarku terdapat seorang Ibu tua bersama 2 orang anak
laki-laki usia sekolah dasar. Mereka tiduran di emperan tapi kelihatannya
mereka cukup berbahagia karena dapat selonjoran. Aku berusaha mencari celah
ruang untuk dapat jongkok.
Aku bersyukur, Ibu Tua itu rupanya berbaik hati karena
bersedia menggeserkan kakinya, kini aku dapat duduk, tapi sampai kapan aku
duduk kuat dengan cara duduk begini. Sedangkan perjalanan memakan waktu 2 hari
2 malam. Tidak lama kemudian KM.Ciremai berangkat meninggalkan pelabuhan
Bitung, hatiku sedikit lega, dan aku berdoa semoga perjalanku ini akan mengubah
nasib.
Tak sadar aku tertidur, aku sedikit terkejut sewaktu petugas
menanyakan tiket, aku ingat tiketku ada di dalam tas punggungku. Tapi apa
lacur, tasku raib entah dimana, aku panik, aku berusaha mencari dan bertanya
kepada Ibu tua dan anak laki-lakinya, tapi mereka hanya menggelengkan kepala.
“Cepat keluarkan tiketmu..” ujar seorang petugas sedikit
menghardik.
“Aku kehilangan tas, tiket dan uangku ada di situ..” jawabku dengan sedih.
“Hah, bohong kamu, itu alasan kuno, bilang aja kamu tak membeli tiket, Ayo ikut
kami ke atas,” bentak petugas yang bertampang sangar.
“Oh.. ini orangnya, berani-beraninya kamu naik kapal tanpa
tiket,” kata sang atasan tadi.
“Tiketku hilang bersama pakaianku yang ada di tas, saya tidak bohong Pak, tapi
benar-benar hilang..”
“Bah itu sih alasan klasik Non, sudah ratusan orang yang minta dikasihani
dengan membuat alasan itu.” ucapnya lagi.
“Kalau Bapak tak percaya ya sudah, sekarang aku dihukum apapun akan aku
lakukan, yang penting aku sampai di Jakarta.”
“Bagus, itu jawaban yang aku tunggu-tunggu..” ujar lelaki berseragam putih-putih
itu.
Kalau kutaksir mungkin lelaki tersebut baru berusia 45
tahun, tapi masih tegap dan atletis, hanya kumis dan rambutnya yang menonjolkan
ketuaannya karena agak beruban.
“Tapi ingat kamu sudah berjanji, akan melakukan apa saja..”
ujar lelaki itu, seraya menunjukkan jarinya ke jidatku.
“Sekarang kamu mandi, biar tidak bau, tuh handuknya dan di sana kamar
mandinya..” sambil menunjuk ke arah kiri.
Betapa girang hatiku, diperlakukan seperti itu, aku tidak
menyangka lelaki itu ternyata baik juga. Betapa segarnya nanti setelah aku
mandi.
“Terima kasih Pak,” ujarku seraya memberanikan diri untuk
menatap wajahnya, ternyata ganteng juga.
“Jangan panggil Pak, panggil aku Kapten..” tegasnya.
Aku sempat membaca namanya yang tertera di baju putihnya.
“Kapten Jonny” itulah namanya. Aku sekarang sudah berada di kamar mandi.
“Wah, betapa wanginya tuh kamar mandi,” gumamku nyaris tak
terdengar. Kunyalakan showernya maka muncratlah air segar membasahi tubuhku
yang mulus ini, kugosok-gosokan badanku dengan sabun, kuraih shampo untuk
mencuci rambutku yang sempat lengket karena keringat.
Sepuluh menit kemudian aku keluar dari kamar mandi, aku
bingung untuk bersalin pakaian, aku harus bilang apa kepada Sang Kapten. “Wah
cantik juga kamu,” tiba-tiba suara itu mengejutkan diriku. Dan yang lebih
mengejutkan adalah pelukan Sang Kapten dari arah belakang. Aku hanya terdiam,
“Siapa namamu, Sayang?” bisiknya mesra. “Inge..” jawabku lirih. Aku tidak berusaha
berontak, karena aku ingat akan janjiku tadi.
Karena aku diam tak berreaksi, maka tangan Sang Kapten makin
berani saja menjelajahi dadaku dan menciumi leher serta telingaku. Aku
menggelinjang, entah geli atau terangsang, yang pasti sampai usiaku 19 tahun
aku belum pernah merasakan sentuhan lelaki. Bukannya tidak ada lelaki yang
naksir padaku, ini karena sikapku yang tidak mau berpacaran.
Banyak teman sekelas yang berusaha mendekatiku, selain
lumayan cantik, aku juga tergolong pandai, makanya aku mendapat beasiswa. Maka
tak heran banyak lelaki di sekolahku yang berusaha memacariku, tapi aku cuek,
alias tidak merespon.
“Ooohh.. jangan Kapten.” hanya kata-kata itu yang keluar
dari mulutku ketika pria separuh baya itu menyentuh barang yang amat berharga
bagi wanita, bulu-bulu lembut yang tumbuh di sekitar vaginaku dielusnya dengan
lembut, sementara handuk yang melekat di tubuhku sudah jatuh ke lantai. Dan aku
pun tahu bahwa lelaki ini sudah bertelanjang bulat.
Aku merasakan benda kenyal yang mengeras menyentuh pantatku,
nafas hangat dan wangi yang memburu terus menjelajahi punggungku, tangannya
yang tadi mengelus vaginaku sekarang meremas-remas kedua payudaraku yang ranum,
ini membuat dadaku membusung dan mengeras. Aku tak percaya, tangan lelaki ini
seolah mengandung magnet, karena mampu membangkitkan gairah yang tak pernah
kurasakan seumur hidupku.
“Ooohh.. aaahh..” hanya desahan panjang yang dapat
kuekspresikan bahwa diriku berada dalam libido yang betul-betul mengasyikan.
“Inge kau betul-betul lugu, pegang dong batangku,” kata Kapten Jonny, seraya
meraih tanganku dan menempelkannya ke batang zakarnya yang keras tapi kenyal.
Akhirnya walaupun aku sebelumnya tidak pernah melakukan
senggama, naluriku seolah membimbing apa yang harus kuperbuat apabila bercumbu
dengan seorang laki-laki. Akhirnya aku berbalik, kuraih batang kemaluannya
kuremas dan kukocok-kocok, sampai kumainkan biji pelirnya yang licin.
Sang Kapten mendesah-desah, “Ooohh.. aaachh.. enak sekali
Sayang, teruskan.. oh teruskan..” sambil matanya terpejam-pejam. Aku jongkok,
tanpa ragu kujilat dan kukulum torpedo Sang kapten, sampai terbenam ke
tenggorokanku.
Aku benar-benar menikmatinya seperti menikmati es Jolly
kesukaanku di waktu kecil dulu. Aku tak peduli erangannya, kusedot, kusedot dan
kusedot terus, sampai akhirnya zakar Sang Kapten yang panjangnya hampir 12
centi itu memuncratkan cairan sperma hangat ke mulutku yang mungil. “Aaahh..
aku sudah tak kuat Inge,” gumamnya.
Betapa nikmatnya cairan sperma nya, sampai tak sadar aku
telah menelan habis tanpa tersisa, ini membuat seolah Sang Kapten tak mampu
untuk tegak berdiri. Dia bersandar di dinding kapal apalagi gerakan kapal
sekarang ini sudah tak beraturan kadang bergoyang kekiri kadang kekanan.
“Kamu betul-betul hebat Inge,” puji Kapten Jonny sambil
mencium bibirku.
“Inge jangan kau anggap aku sudah kalah, tunggu sebentar..”
Dia bergegas menuju lemari kecil, lantas mengambil sesuatu
dari botol kecil dan menelannya lantas membuka kulkas dan mengambil botol
minuman sejenis minuman energi.
“Sini Sayang..” ujar sang kapten memanggilku mesra.
“Istirahat dulu kita sebentar, ambillah minuman di kulkas untukmu,” lanjut
Kapten Jonny.
Kubuka kulkas dan kuraih botol kecil seperti yang diminum Kapten
Jonny. Aku meminumnya sedikit demi sedikit, “Ooohh.. sedap sekali minuman ini..
aku tak pernah merasakan betapa enaknya.. minuman apa ini.” Ternyata label
minuman ini tertulis huruf-huruf yang aku tak paham, mungkin aksara China,
mungkin Jepang mungkin juga Korea. Ah persetan.. yang penting tenggorokanku
segar.
“Kau berbaringlah di di situ,” pinta Kapten Jonny sambil
menunjuk tempat tidurnya yang ukurannnya tidak begitu besar. Kurebahkan tubuhku
di atas kasur yang empuk dan membal. Kulihat jam dinding sudah menunjuk pukul
12 malam. Aku heran mataku tak merasa ngantuk, padahal biasanya aku sudah tidur
sebelum pukul 22:00.
Aku sengaja tidak menggunakan selimut untuk menutupi
tubuhku, kubiarkan begitu saja tubuhku yang polos, barangkali ini akan membangkitkan
gairah libido Sang Kapten yang tadi sudah down. Aku berharap semoga Sang Kapten
akan terangsang melihat dadaku yang sengaja kuremas-remas sendiri.
Sang Kapten sudah bangkit dari kursi santainya, dia
menenggak sebotol lagi minuman sejenis Kratindaeng. Dia sudah berada di tepi
ranjang, sekarang dia mulai mengelus-elus kakiku dari ujung jari merambat ke
atas dan berhenti lama-lama di pahaku, mengusap-usap dan menjilatinya,
dansekarang lidahnya sudah berada di mulut vaginaku. “Ooohhh.. geli..”
Sejurus kemudian lidahnya dijulurkan dan menyapu permukaan
bibir vaginaku. Pahaku sengaja kulebarkan, hal ini membuat Sang Kapten
bertambah buas dan liar, diseruputnya klitorisku. “Ooohh.. aaahh.. teruskan
Kapten, lanjutkan Kapten.. Ooohh.. nikmat sekali Kapten..” Tangannya tidak
tinggal diam, diraihnya kedua payudaraku, diremasnya dan tak lupa memelintir
putingku dengan mesra.
“Ooohh.. aku sudah tak tahan Kapten..” desisku.
“Tahan Sayang.. tahan sebentar.. biarkan aku menikmati vaginamu yang wangi ini…
aku tak pernah merasakan wanginya vagina dari wanita lain..”
“Sruuppp.. sruuuppp.. sruuupp..” Terus saja mulut Kapten Jonny dengan rajinnya
menjelajah bagian dalam vaginaku yang sudah empot-empotan ini akibat rangsangan
yang amat tinggi.
“Sudah Kapten.. lekas masukkan batang zakarmu, aku sudah
tidak tahan..”
“Baik, rasakanlah Sayang.. betapa nikmatnya rudalku ini..”
“Tapi pelan-pelan Kapten, aku benar-benar masih perawan..”
“Oke, aku melakukannya dengan hati-hati..” janji Kapten Jonny.
“Buka lebar pahamu, Inge..” saran Kapten Jonny.
Dan…
“Blleeesss…”
“Ooohh.. aaahh..” desisku, padahal zakar itu baru masuk tiga perempatnya.
“Bles.. blesss…”
“Ooohhh…” erangku panjang, aku tahu batang sepanjang 12 centi itu sudah merusak
selaput daraku.
Ditariknya lagi rudalnya, lantas dimasukannya lagi seirama
dengan goyangan KM.Ciremai oleh ombak laut.
“Bless.. blesss.. bless..”
“Ooohh.. ooohh.. ooohh.. aaahh.. aaahh..”
“Aku mau keluar Kapten,” ujarku memberi tahu Kapten Jonny.
“Tahan Sayang.. sebentar.. aku juga ingin keluar, sekarang kita hitung sampai
tiga. Satu.. dua.. tiga..”
“Crottt… crottt… crot…” sperma Kapten Jonny membasahi gua
gelap vaginaku. Betapa hangat dan nikmatnya sperma mu Jonny. Hal ini memancing
cairanku ikut membanjiri kemaluanku sampai meluber ke permukaan bersama dengan
sperma kapten.
Kami berdua terkulai lemas, tapi Kapten Jonny sempat meraba
bibir kemaluanku dan jarinya seolah mencungkil sesuatu dari vaginaku, ternyata
dia menunjukkan cairan merah kepadaku, dan ternyata adalah darah perawanku.
Dijilatnya darah sambil berkata, “Terima kasih Inge, kamu betul-betul
perawan..” Aku hanya menangis, menangisi kenikmatan yang sama sekali tak
kusesalkan.
Aktivitas senggama ini berlangsung kembali sampai matahari
muncul. Lantas aku tidur sampai siang, makan, tidur dan malamnya kami
melakukannya lagi berulang-ulang seolah tiada bosan dan kapten tetap
mengeluarkan sperma nya didalam vaginaku. Akhirnya Pelabuhan Tanjung Priok
sudah berada di pelupuk mataku. Sebelum turun dari kapal aku dibelikan baju
baru, dan dibekali uang yang cukup.
Selamat tinggal Kapten.. selamat tinggal.. terimakasih atas
sperma mu END
Tidak ada komentar:
Posting Komentar